Kamis, 29 November 2012
Rambo IV, Aksi John Rambo Lebih Brutal
Setelah kecewa berat pasca nonton Breaking Dawn part 2 yang masih saja girlie movie, saya mencoba melampiaskannya dengan menonton Rambo IV, kebetulan sehari sebelum nonton seri terakhir saga Twilight tersebut, saya sempat menyewa sejumlah film, dan salah satunya Rambo IV itu. Terlambat memang saya baru menontonnya tahun ini, karena film tersebut tersebut sudah dirilis pada 2008 silam. Tapi pepatah "Better late than never" masih tetap berlaku kan?
Rambo IV diawali dengan dokumenter mengenai cuplikan-cuplikan kekerasan bahkan pembantaian massal di Myanmar. Kemudian adegan beralih ke sebuah persawahan di Myanmar dimana sejumlah tentara (saya menangkapnya tentara pemerintah) membantai sejumlah penduduk karena para penduduk tersebut dianggap tidak pro pemerintah dan lebih pro ke pemberontak Karin yang menentang tindakan semena-mena dan ala diktator dari para tentara pemerintah tersebut.
Pembantaian tersebut kemudian mendapat perhatian dari sejumlah misionaris yang ingin membawa pesan perdamaian ke wilayah konflik. Mereka dibantu Rambo untuk mencapai wilayah tersebut. Namun bukannya perdamaian justru malah mengalami pembantaian, dimana saat para misionaris tersebut sampai di sebuah desa rawan konflik, para tentara pemerintah membombardir desa tersebut secara brutal. Para misionaris kemudian menjadi tawanan. Singkat cerita, sejumlah tentara bayaran dengan dibantu Rambo akhirnya melakukan operasi pembebasan terhadap para misionaris tersebut.
Dibintangi dan disutradarai Sylvester Stalone sendiri, Rambo IV benar-benar memuaskan para lelaki pecinta film action. Memang dari segi crita tidak ada yang istimewa, segalanya bisa ditebak, tipikal film aksi, bahkan saking tipikalnya, ditampilkan tokoh cewek sebagai pemanis yang dapat meluluhkan kerasnya hati dan watak sang jagoan utamanya. Dan untuk ukuran zaman sekarang, cerita yang mudah ditebak dan tipikal dianggap sebagai kekurangan sebuah film dan menjadi sasaran cercaan para kritikus. Namun kekurangan itu berhasil ditutupi secara baik dengan adegan-adegan laganya yang penuh ledakan, kejar-kejaran dan tembak-menembak khas film aksi 80-an namun lebih brutal karena dibantu dengan sentuhan teknologi visual effect modern sehingga tidak mengecewakan.
Tensi ketegangan juga berhasil ditampilkan sejak awal, terutama saat adegan pembantaian massal terhadap penduduk sipil yang membuat kita merasa miris, dan tentu saja adegan-adegan laganya yang dapat mengobati perasaan miris setelah menyaksikan pembantaian massal tersebut. Ibaratnya begini, kita benar-benar dibuat kesal dengan tindakan para oknum tentara pemerintah Myanmar tersebut yang membantai dan memerkosa penduduk sipil seenaknya, berharap ada pahlawan yang memberantas mereka, dan saat pahlawan itu datang dengan melakukan serangan balasan yang tak kalah brutal, kita bisa berkata, "Rasain tuh balasannya!"
Overall, Rambo IV merupakan salah satu film laga full action terbaik yang pernah saya tonton, menyajikan banyak adegan aksi yang brutal namun tidak sampai membuat mual, serta minim dialog panjang apalagi bertele-tele. Akhirnya, instalement keempat dari kisah John Rambo ini layak mendapat rating 3 bintang dari total 5 bintang. Yang pasti jangan berharap cerita yang berat dan dialog yang dalam, cukup duduk manis dan nikmati aksi-aksi laganya, dijamin puas dengan film ini.
Selasa, 27 November 2012
Breaking Dawn part 2, Saga Penutup yang Mengecewakan
Ada 2 pihak yang menanti setiap perilisan kelanjutan saga Twilight, pihak pertama adalah orang-orang yang suka dengan cerita karangan Stephanie Meyer ini, entah itu suka dengan karakter Edward Cullen yang tampan dan cool (khusus untuk penonton cewek), atau memang suka dengan cerita romantis Edward dan Bella (yang ini mayoritas masih kalangan penonton cewek, namun tidak menutup kemungkinan untuk penonton cowok). Pihak kedua adalah pihak yang skeptis dengan saga tersebut dan selalu menanti adanya sesuatu yang tidak mudah ditebak terutama untuk ending-nya, menantang pemikiran, serta berharap lebih banyak adegan action setiap kali seri ini dirilis. Untuk pihak kedua ini terdiri dari para kritikus film dan mayoritas penonton cowok. Sayangnya, untuk seri terakhir dari saga Twilight ini, pihak kedua kembali tidak terpuaskan.
Saga terakhir Twilight yang berjudul Breaking Dawn part 2 ini menceritakan hari-hari Bella menjadi vampir baru yang sangat kuat serta kehidupannya sebagai ibu. Bella telah memiliki seorang putri bernama Renesmee hasil pernikahannya dengan Edward Cullen. Tentu saja Bella bahagia dengan kehidupan barunya ini. Namun kehidupan baru Bella menyisakan masalah karena Volturi tidak senang, terutama dengan kelahiran Renesmee, karena Volturi menganggap putri Bella tersebut dapat mengancam kehidupan ras vampire. Volturi pun bersikeras untuk membunuh Renesmee, namun tentu saja para vampire keluarga Cullen tidak rela dan berusaha mencegah agar Volturi tidak membunuh Renesmee. Begitulah inti film yang disutradarai Bill Condon tersebut.
Seperti yang sudah diduga pihak-pihak yang skeptis terhadap saga ini, formula cerita Breaking Dawn part 2 secara umum praktis sama dengan seri-seri sebelumnya, menampilkan adegan romantis antara Edward dan Bella, adanya pertentangan antara klan Srigala dan Vampir yang berujung perkelahian, hingga adanya pihak-pihak yang bermusuhan dengan vampire keluarga Cullen. Andaikan Bill Condon bisa mengemasnya dengan baik, meskipun mengandung formula yang sama, Breaking Dawn part 2 mungkin bisa menjadi sajian berbeda. Namun yang saya lihat ternyata sama saja, alurnya mudah ditebak, istilahnya seperti ini: “nanti seperti ini, kemudian selanjutnya seperti ini, dan endingnya seperti ini”. Bahkan saya sempat mengantuk, hingga akhirnya ngantuk saya hilang saat film sudah memasuki paruh terakhir, karena disitu baru terjadi adegan-adegan yang seru dan menegangkan hingga sempat membuat nafas tertahan, serta munculnya sesuatu yang tidak terduga, namun belum sampai ke tahap kejutan.
Saya (dan tentu saja orang-orang yang masuk golongan pihak kedua) berharap setelah adanya adegan-adegan yang tak terduga, klimaks film ini menghasilkan adanya kejutan sehingga membuat Breaking Dawn part 2 menjadi berkesan, karena langkah menuju kejutan itu sudah terbangun. Sayang sekali, ujung-ujungnya malah kekecewaan. Memang benar ada yang mengejutkan di paruh akhir menjelang klimaks, namun kejutan tersebut malah terasa konyol. Ibaratnya seperti begini, kamu merasa jatuh ke dalam jurang yang dalam, namun ketika semakin mendekati dasar jurang, kamu terbangun, dan menyadari bahwa jatuh ke jurang itu hanyalah mimpi buruk. Dan klimaks film ini, sudah bisa ditebak, happy ending yang sangat umum.
Overall, saya hanya memberi rating 2 bintang, dari nilai maksimal 5 bintang. Alasannya pertama, cerita yang mudah ditebak. Kedua, acting para pemainnya di kisaran rata-rata, tidak jelek, namun tidak juga istimewa. Ketiga, visual effect yang tidak terlalu bagus, masih terlihat seperti rekayasa komputer. Mungkin anjuran saya buat para cowok, lebih baik kalian tidak usah menonton Breaking Dawn part 2, kecuali kalau untuk menemani cewek menonton film ini, atau memang fans berat dari saga Twilight. Beruntung, di adegan terakhir sedikit terselamatkan dengan adegan menyentuh karena diiringi lagu A Thousand Years-nya Christina Perri.
Rabu, 21 November 2012
Good Luck Di Matteo
Saya terkejut, bahkan bisa-bisa bilang WOW saat mengetahui berita di salah satu TV swasta bahwa Chelsea memecat pelatih Roberto Di Matteo. Saya memang bukan fans Chelsea, tapi seorang Mancunian (fans MU), namun saya ikut bereaksi keras dengan pemecatan Di Matteo, semudah itukah Chelsea memecat pelatih yang baru saja membawa Chelsea menjuarai Liga Champions untuk pertama kalinya hanya karena baru 2 kali kekalahan beruntun di Liga Inggris (dari West Bromwich) dan Liga Champions (dari Juventus) dalam sepekan terakhir?
Mungkin momen 2 kekalahan beruntun itulah yang ditunggu Roman Abramovich untuk mewujudkan niatnya mendepak Di Matteo yang tertunda sejak awal musim ini. Mantan gelandang Chelsea di akhir dekade 1990an tersebut memang bukan pelatih impian Abramovich untuk menangani Chelsea. Bukan rahasia lagi kalau taipan asal Rusia tersebut menginginkan Pep Guardiola untuk menangani klub yang dimilikinya tersebut, yang kebetulan sejak awal musim ini sengaja menganggur pasca mengundurkan diri dari Barcelona. Namun tentu saja keinginan itu tidak mudah, Abramovich tidak bisa memecat Di Matteo begitu saja karena dia telah berjasa menjuarai Liga Champions, trofi yang diimpi-impikan Abramovich sejak mengambil alih Chelsea pada 2003 lalu, selain itu Guardiola masih ingin beristirahat sejenak dari sepakbola selama minimal setahun. Akhirnya mau tidak mau Di Matteo tetap dipertahankan.
Di Matteo menjadi pelatih pada pertengahan musim lalu menggantikan Andre Villas Boas yang juga dipecat. Saat itu, dia hanya sebagai caretaker (pelatih pengganti) setelah sebelumnya merupakan asisten Villas Boas. Melihat track record Chelsea selama dilatih Di Matteo, sebenarnya tidaklah mengecewakan. Jika dibandingkan dengan MU sebagai klub Inggris tersukses, musim ini Chelsea sedikit lebih baik, setidaknya hingga November ini. Dilihat dari peluang meraih gelar, Chelsea masih berpeluang di 4 kompetisi yaitu FA Cup, Barclays Premier League (BPL), League Cup, dan Liga Champions, bandingkan dengan MU yang sudah kehilangan kesempatan meraih gelar di League Cup (setelah disingkirkan Chelsea). Kemudian di BPL, meskipun untuk sementara posisi Chelsea di peringkat ketiga atau 1 strip di bawah MU, namun The Blues baru kalah 2 kali, sedangkan MU sudah 3 kali kalah. Total MU sudah kalah 5 kali di seluruh ajang kompetisi, sedangkan Chelsea baru kalah 4 kali.
Di luar lapangan, berkat uang reward hasil juara Liga Champions musim lalu, keuangan Chelsea akhirnya meraih keuntungan setelah selama 9 tahun selalu minus, itu juga berkat kesuksesan Di Matteo di dalam lapangan. Laporan neraca keuangan per-Oktober menunjukkan Chelsea untung sebesar 1,4 juta pounds atau setara Rp21,4 miliar.
Pemecatan pelatih berkebangsaan Italia yang lahir di Swiss tersebut semakin menegaskan Chelsea sebagai salah satu klub yang gemar menghamburkan uangnya untuk gonta-ganti pelatih. Mungkin sedikit lebih ekstrem, Abramovich kurang menghargai para pelatih Chelsea. Bahkan Di Matteo yang sudah berjasa membawa Chelsea juara Liga Champions saja bisa dipecat walaupun belum genap setahun melatih. Total, sementara sudah 8 pelatih yang menduduki kursi panas pelatih Chelsea selama masa "kekaisaran" Roman Abramovich.
Kalau sudah begini, kita lihat saja bagaimana kelanjutan raihan prestasi Chelsea, apakah semakin sukses atau justru merosot. Bagi Di Matteo, mungkin tak perlu berkecil hati meskipun kecewa, karena hingga saat ini dia merupakan satu-satunya pelatih Chelsea yang berhasil membawa trofi Liga Champions ke Stamford Bridge, bahkan seorang Jose Mourinho pun tidak mampu meraihnya di Chelsea. Selain itu, karena pernah meraih trofi Liga Champions, bagaimanapun juga, dia sudah termasuk sebagai jajaran pelatih bintang lima. Good Luck for your next carrier De Matteo.
DATA DIRI DI MATTEO
Nama lengkap : Roberto Di Matteo
Tanggal lahir : 29 Mei 1970
Tempat lahir : Schaffhausen, Swiss
Tinggi : 1.80 m (5 ft 11 in)
Posisi bermain: Gelandang
Karier pemain
1988–1991 Schaffhausen
1991–1992 Zürich
1992–1993 Aarau
1993–1996 Lazio
1996–2002 Chelsea
Tim nasional
1994–1998 Italia
Kepelatihan
2008–2009 Milton Keynes Dons
2009–2011 West Bromwich Albion
2012 Chelsea
Mungkin momen 2 kekalahan beruntun itulah yang ditunggu Roman Abramovich untuk mewujudkan niatnya mendepak Di Matteo yang tertunda sejak awal musim ini. Mantan gelandang Chelsea di akhir dekade 1990an tersebut memang bukan pelatih impian Abramovich untuk menangani Chelsea. Bukan rahasia lagi kalau taipan asal Rusia tersebut menginginkan Pep Guardiola untuk menangani klub yang dimilikinya tersebut, yang kebetulan sejak awal musim ini sengaja menganggur pasca mengundurkan diri dari Barcelona. Namun tentu saja keinginan itu tidak mudah, Abramovich tidak bisa memecat Di Matteo begitu saja karena dia telah berjasa menjuarai Liga Champions, trofi yang diimpi-impikan Abramovich sejak mengambil alih Chelsea pada 2003 lalu, selain itu Guardiola masih ingin beristirahat sejenak dari sepakbola selama minimal setahun. Akhirnya mau tidak mau Di Matteo tetap dipertahankan.
Di Matteo menjadi pelatih pada pertengahan musim lalu menggantikan Andre Villas Boas yang juga dipecat. Saat itu, dia hanya sebagai caretaker (pelatih pengganti) setelah sebelumnya merupakan asisten Villas Boas. Melihat track record Chelsea selama dilatih Di Matteo, sebenarnya tidaklah mengecewakan. Jika dibandingkan dengan MU sebagai klub Inggris tersukses, musim ini Chelsea sedikit lebih baik, setidaknya hingga November ini. Dilihat dari peluang meraih gelar, Chelsea masih berpeluang di 4 kompetisi yaitu FA Cup, Barclays Premier League (BPL), League Cup, dan Liga Champions, bandingkan dengan MU yang sudah kehilangan kesempatan meraih gelar di League Cup (setelah disingkirkan Chelsea). Kemudian di BPL, meskipun untuk sementara posisi Chelsea di peringkat ketiga atau 1 strip di bawah MU, namun The Blues baru kalah 2 kali, sedangkan MU sudah 3 kali kalah. Total MU sudah kalah 5 kali di seluruh ajang kompetisi, sedangkan Chelsea baru kalah 4 kali.
Di luar lapangan, berkat uang reward hasil juara Liga Champions musim lalu, keuangan Chelsea akhirnya meraih keuntungan setelah selama 9 tahun selalu minus, itu juga berkat kesuksesan Di Matteo di dalam lapangan. Laporan neraca keuangan per-Oktober menunjukkan Chelsea untung sebesar 1,4 juta pounds atau setara Rp21,4 miliar.
Pemecatan pelatih berkebangsaan Italia yang lahir di Swiss tersebut semakin menegaskan Chelsea sebagai salah satu klub yang gemar menghamburkan uangnya untuk gonta-ganti pelatih. Mungkin sedikit lebih ekstrem, Abramovich kurang menghargai para pelatih Chelsea. Bahkan Di Matteo yang sudah berjasa membawa Chelsea juara Liga Champions saja bisa dipecat walaupun belum genap setahun melatih. Total, sementara sudah 8 pelatih yang menduduki kursi panas pelatih Chelsea selama masa "kekaisaran" Roman Abramovich.
Kalau sudah begini, kita lihat saja bagaimana kelanjutan raihan prestasi Chelsea, apakah semakin sukses atau justru merosot. Bagi Di Matteo, mungkin tak perlu berkecil hati meskipun kecewa, karena hingga saat ini dia merupakan satu-satunya pelatih Chelsea yang berhasil membawa trofi Liga Champions ke Stamford Bridge, bahkan seorang Jose Mourinho pun tidak mampu meraihnya di Chelsea. Selain itu, karena pernah meraih trofi Liga Champions, bagaimanapun juga, dia sudah termasuk sebagai jajaran pelatih bintang lima. Good Luck for your next carrier De Matteo.
DATA DIRI DI MATTEO
Nama lengkap : Roberto Di Matteo
Tanggal lahir : 29 Mei 1970
Tempat lahir : Schaffhausen, Swiss
Tinggi : 1.80 m (5 ft 11 in)
Posisi bermain: Gelandang
Karier pemain
1988–1991 Schaffhausen
1991–1992 Zürich
1992–1993 Aarau
1993–1996 Lazio
1996–2002 Chelsea
Tim nasional
1994–1998 Italia
Kepelatihan
2008–2009 Milton Keynes Dons
2009–2011 West Bromwich Albion
2012 Chelsea
Minggu, 18 November 2012
Norwich vs Manchester United, the Review: Now Fergie Babes can't Strike Back
Kebiasaan tertinggal lebih dahulu bukan merupakan kebiasaan yang baik, walaupun di akhir pertandingan bisa membalikkan keadaan atau minimal menyamakan kedudukan. Manchester United (MU) seringkali berada di situasi seperti itu. Bahkan hingga hampir paruh musim ini, 90% kemenangan MU diraih setelah mereka tertinggal terlebih dahulu Memang kalau berhasil membalikkan atau minimal menyamakan skor bisa dianggap luar biasa, dramatis, apalagi tertinggal minimal 2 gol, namun bagaimana jika MU akhirnya tidak bisa menyamakan atau membalikkan keadaan? Itulah yang terjadi semalam, saat MU akhirnya kalah dari Norwich City setelah tertinggal 1 gol.
Mungkin para Manchunian di seluruh dunia berharap MU bisa membalikkan keadaan seperti yang berkali-kali mereka lakukan, namun melihat permainan mereka yang nyaris tanpa determinasi, MU kali ini memang pantas kalah.
Ya, tanpa determinasi, itulah gambaran MU semalam. Mereka kalah semangat dari para pemain Norwich, yang meskipun secara kualitas jauh di bawah para pemain MU, namun berhasil menampilkan kekompakan tim yang berujung pada gol kemenangan yang diciptakan Pilkington. Absennya Rooney dan Kagawa akibat cedera benar-benar berpengaruh, setidaknya Rooney masih bisa menjadi Fake Playmaker yang bisa merubah arah permainan. Kagawa, tentu saja dia playmaker sejati, umpan-umpannya akurat, mungkin kekurangannya hanya pada stamina dan body balance.
Sejak babak pertama, MU memang menguasai jalannya pertandingan, apalagi di sektor tengah, namun penguasaan tersebut hanya berkutat di area tersebut, yang lebih banyak dimainkan oleh Carrick, Giggs, Young, Valencia, plus Evra, Rafael, dan Van Persie yang ikut "bergerombol" di lapangan tengah, berputar-putar, umpan ke kanan, ke tengah, kembali ke belakang, namun jarang melakukan tusukan ke pertahanan Norwich, seakan-akan agak meremehkan, nyaris tidak terlihat spirit untuk memburu gol terlebih dahulu, apalagi menang telak. Hingga paruh pertama selesai, MU hanya punya 1 peluang emas dari tendangan Ashley Young memanfaatkan kemelut di muka gawang Norwich hasil dari tendangan sudut Van Persie.
Saya berharap, di babak kedua, permainan MU berubah, lebih banyak serangan berbahaya, dan membuat banyak gol, tanpa kebobolan. Tapi kenyataannya, tidak ada perubahan sama sekali. Umpan-umpan banyak yang tidak akurat, baik dari kuartet lini tengah mereka maupun Evra dan Rafael. Namun paling mengecewakan menurut saya adalah Valencia dan Young, entah kenapa mereka bermain jauh di bawah standar. Pergerakan mereka gampang dibaca, umpan-umpannya tidak akurat. Dampaknya Van Persie tidak punya peluang mencetak gol, begitu juga Chicarito.
Keasyikan menyerang, yang ditakutkan akhirnya tiba, kelengahan barisan belakang yang ditandai dengan terlambatnya Rafael kembali ke posnya sebagai bek kiri setelah ikut maju menyerang, harus dibayar mahal. Keterlambatannya menutup ruang gerak Hoult menyebabkan kapten Norwich tersebut leluasa melepaskan umpan ke kotak penalti MU dan disambut sundulan Anthony Pilkington yang menghasilkan gol pada menit 60.
Para Manchunian tentu saja cemas, karena kondisi tertinggal terlebih dahulu kembali terjadi, namun sekaligus ada kepercayaan bahwa MU bakal kembali mengulang "Strikes Back" seperti di pertandingan-pertandingan sebelumnya. Menit 69, Fergie kemudian memasukkan Scholes yang menggantikan Valencia, dan Welbeck menggantikan Chicarito.
Ternyata masuknya 2 pemain itu tidak banyak membantu. Memang serangan MU semakin tajam hingga membuat para pemain Norwich semakin merapatkan pertahanan (hingga dipuji Fergie). "Anda harus memberi pujian kepada cara Norwich bertahan. Mereka bertahan total untuk tetap selamat dalam pertandingan malam ini," Sir Alex Ferguson. Scholes tidak dapat memberi kreasi yang signifikan di lini tengah, passing-passingnya hanya berkutat di tengah saja, tidak seperti biasanya yang melakukan throgh pass berbahaya ke kotak penalti lawan. Welbeck tidak kalah buruk, dia ternyata tidak dapat berperan sebagai Super Sub, sama sekali tidak menghasilkan peluang, satu kesempatan saat mendapat ruang bebas untuk melakukan sundulan, tapi sundulannya justru menyamping jauh! Mungkin Welbeck bisa agak dimaklumi karena kelelahan pasca membela tim nasional Inggris. Ada baiknya jika pada pertandingan semalam lebih baik jika Welbeck menjadi strating eleven, Chicarito kemudian masuk menggantikannya, karena Chicarito lebih berpengalaman mencetak gol saat dia masuk sebagai pemain pengganti. Upaya Fergie semakin sia-sia saat memasukkan Anderson yang tidak juga memberi perubahan pada serangan MU. Total 9 shoot on target dan 12 corner kick yang dilakukan MU tidak menghasilkan satu pun gol.
Overall, Fergie lagi-lagi harus membenahi barisan belakang MU. Mungkin MU perlu membeli pemain belakang bintang lima, sama seperti saat Fergie membeli Rio Ferdinand, karena rapuhnya barisan belakang MU sudah akut. Saking akutnya sampai-sampai hingga pekan ke-12 EPL, MU sudah kebobolan 17 gol dan 3 kali kalah! Padahal English Premier League memberlakukan aturan goal defference untuk menentukan juara (jika nilai antara peringkat 1 dan 2 sama hingga pekan terakhir). Tentu saja MU tidak ingin mengulangi "sakit hati" musim kemarin kan?
Langganan:
Postingan (Atom)