Sabtu, 23 Mei 2009
Sebagian Dampak Depresi Ekonomi di Hindia-Belanda
Hal itu ternyata berdampak negatif bagi perekonomian. Karena di AS kredit semakin melimpah dan uang yang sesungguhnya beredar amat sedikit, keuntungan-keuntungan pribadi dan perusahaan dalam tempo 24 jam tiba-tiba lenyap. Maka pada tanggal 29 Oktober 1929, saham-saham di pasaran nilainya jatuh. Gelombang kebangkrutan yang berawal dari Wall Street itu kemudian menyebar ke seluruh penjuru negeri dan akhirnya menyebar pula ke seluruh dunia. Bank-bank bangkrut, harga bahan pertanian menurun drastis, pabrik-pabrik banyak yang tutup dan perdagangan ekspor impor melemah. Itulah awal dari Depresi Ekonomi dunia yang berdampak pada merosotnya perekonomian dunia.
Dampak dari Depresi Ekonomi juga dirasakan di Indonesia. Hal yang dirasakan misalnya dari segi produksi pertanian. Misalnya yang terjadi di daerah penghasil tanaman padi. Pada masa depresi, ketika harga merosot, tekanan pajak yaitu pajak tanah di daerah-daerah itu meningkat secara relatif. Harga padi merosot tajam, dan sumber-sumber penghasilan uang lainnya (misalnya upah kerja di perkebunan Barat) mengering, penduduk di daerah itu harus menjual produksi mereka dengan bagian yang lebih besar daripada masa-masa sebelumnya untuk memperoleh cukup uang guna membayar pajak tanah.
Sedangkan keadaan di daerah tanaman ekspor juga merasakan kesusahan. Misalnya di daerah perkebunan karet. Harga karet juga ikut anjlok. Namun meskipun begitu, ekspornya tetap mencakup jumlah yang besar. Rupanya, para pemilik perkebunan karet ingin mengimbangi penurunan harga dengan jalan mempertahankan sedapat-dapatnya volume ekspornya, sejauh biaya-biaya memungkinkan. Dengan berbuat demikian, orang berharap akan dapat memperoleh uang dalam jumlah tertentu yang bagaimanapun diperlukan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban misalnya membayar pajak.
Inilah beberapa komoditi ekspor andalan Hindia-Belanda yang mengalami penurunan permintaan dari luar negeri sehingga harganya merosot. Harga gula kualitas superior misalnya merosot dari 13.09 gulden per 100 kg pada Oktober 1929 menjadi 6.25 gulden pada Juni 1932. Kopi Robusta dari 82.37 gulden per 100 kg pada Oktober 1929 menjadi 38.86 gulden pada Juni 1932. Karet mentah standar (crepe) dari 50 sen pada Oktober 1929 menjadi tujub sen pada Juni 1932. praktis semua komoditi lain, termasuk teh dan timah, dilanda kemerosotan harga.
Upah buruh juga ikut merosot sebagai akibat dari depresi ekonomi ini. Misalnya mingguan Adil yang terbit di Surakarta edisi Januari 1935 menyajikan suatu hasil penelitian yang dilakukan di kalangan para pekerja industri batik di kota Sala. Penulisnya adalah seseorang berinisial W. Menurut penelitiannya, suatu waktu di tahun 1932, para majikan mulai menurunkan upag buruh. Pada 1933 upah harian masih antara 75 sen sampai 100 sen atau satu gulden. Setahun kemudian, keadaan industri batik tidak membaik, justru memburuk. Tidak hanya upah yang makin dikurangi, tetapi jumlah buruh pun demikian, mereka yang masih diberi kesempatan bekerja hanya memperoleh 30 sen sehari.
Buruh yang dipertahankan hanya diberi kesempatan bekerja maksimal sepuluh hari dalam sebulan; jadi sebulan hanya menerima upah 300 sen atau tiga gulden. Rata-rata keluarga buruh terdiri dari empat orang. Dengan 300 sen sebulan atau 10 sen sehari, maka setiap anggota keluarga harus bisa hidup dengan dua setengah sen sehari. Jelas mereka tidak mampu lagi makan nasi. Mereka harus puas dengan makan bubur. Kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti pakaian, minyak tanah, dan sebagainya tidak dapat mereka penuhi.
Depresi ekonomi juga berpengaruh pada bertambahnya jumlah penduduk di Hindia Belanda. Yang menyebabkannya adalah semakin banyak orang-orang Belanda yang datang ke Indonesia karena di Belanda sendiri juga merasakan jeratan Depresi Ekonomi. Kebanyakan dari mereka yang datang ke Indonesia adalah kaum pemuda karena di Belanda mereka sulit untuk memperoleh pekerjaan. Kedatangan mereka dikejutkan oleh suasana defensif dan prasangka rasial yang menyambut mereka. Namun, kembali ke kehidupan mereka sebelumnya di Eropa sudah tidak mungkin, dan kebanyakan dari mereka merasa tidak punya pilihan lain kecuali menyesuaikan diri dengan aman dalam benteng kulit-putih sehingga mereka membuat penduduk lama terlihat seperti “pecinta pribumi” yang sedang belajar.
Demikian beberapa dampak Depresi Ekonomi di wilayah Hindia-Belanda, sesuai dengan judul di atas, hanya beberapa dampak yang dimasukkan di dalam tulisan ini. Tentu saja masih banyak dampak-dampak lain yang tidak hanya pada sektor ekonomi, tetapi kuga politik, kependudukan, pendidikan dan lain sebagainya.
Daftar Pustaka
Djojohadikusumo, Sumitro. Kredit Rakyat di Masa Depresi .Jakarta: LP3ES.
Gouda, Frances. 2007. Dutch Culture Overseas, Praktek Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942. Jakarta: Serambi.
Swantoro, P. 2002. Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung menjadi Satu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Yenne, Bill. 2004. 100 Kejadian yang Mengubah Sejarah Dunia. Delaprasta Publishing (tanpa kota penerbit).
Selasa, 19 Mei 2009
Sekilas tentang Majalah Panjebar Semangat
Majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat telah berumur lebih dari 75 tahun. Umur yang cukup tua bagi sebuah media cetak. Meskipun demikian, sampai saat ini majalah tersebut masih tetap eksis ditengah persaingan yang semakin ketat dengan media cetak-media cetak lainnya yang semakin menjamur. Majalah ini terasa sebagai sebuah warisan sejarah karena didirikan oleh salah satu tokoh perintis Pergerakan Nasional yaitu dr. Soetomo.
Surat kabar Soeara Oemoem merupakan cikal bakal dari lahirnya Panjebar Semangat. Harian tersebut setiap kali terbit terdiri atas dua belas halaman. Delapan halaman merupakan halaman berbahasa Indonesia sedangkan empat halaman sisanya yang disebut volks editie (edisi rakyat) menggunakan bahasa Jawa.
Setelah melalui beberapa edisi, halaman Soeara Oemoem edisi rakyat kemudian dihapus (baca: dipisahkan). Sebagai gantinya, maka pada hari Sabtu tanggal 2 September 1933 diterbitkan majalah mingguan berbahasa Jawa yang diberi nama Panjebar Semangat (PS) yang diprakarsai dan dibiayai oleh dr. Soetomo. Sejak itu sampai kini, PS terbit setiap Sabtu.
Menurut Drs. Moechtar, pimpinan redaksi PS saat ini, pemisahan edisi rakyat Soeara Oemoem yang kemudian beralih menjadi PS disebabkan oleh masyarakat pada masa itu yang mayoritas belum mampu memahami bahasa Indonesia jika ingin membaca halaman yang berbahasa Jawa harus membeli satu edisi Soeara Oemoem. Mereka menganggap terlalu mahal dan kurang berguna karena delapan halaman yang berbahasa Indonesia tidak dapat mereka pahami.
Majalah PS memang sengaja menggunakan bahasa Jawa sejak pertama kali terbit karena seperti yang sudah dikemukakan pada paragraf sebelumnya, mayoritas masyarakat pada masa itu lebih memahami bahasa Jawa ketimbang bahasa Indonesia. Mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam artikel dr. Soetomo berjudul “Toedjoean lan Kekarepan” (Tujuan dan Kehendak) yang menjadi editorial pada edisi perdana PS: (sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia)“…. Beribu-ribu banyaknya bangsa kita yang masih belum dapat berbahasa Indonesia, …. Hal ini terlihat di dalam pergaulan kita sehari-hari dan juga pada saat ada rapat. Di beberapa tempat, jika ada orang yang akan berpidato menawarkan pada para hadirin pilih menggunakan bahasa apa, mereka berkata serentak, minta menggunakan bahasa Jawa. ....”. Dengan begitu, pesan-pesan dan informasi yang disampaikan oleh PS dapat dipahami oleh para pembacanya.
Edisi perdana PS masih berupa lembaran koran yang terdiri atas empat halaman, kemudian berkembang menjadi tabloid berisi 16 halaman mulai edisi 7 September 1935 dengan sampul berwarna hijau. Baru pada tahun 1949 ketika pimpinan redaksi dipegang oleh Imam Soepardi, PS bertransformasi menjadi majalah setelah kembali terbit (reborn) karena sempat vakum sejak tahun 1942 disebabkan pemerintah militer Jepang yang berkuasa pada saat itu melarang penerbitan segala media massa berbahasa daerah. Tidak hanya itu, mesin-mesin zet Intertype dan percetakannya pun juga ikut disita dan tidak kembali.
Kelahiran kembali itu ternyata membawa berkah. Sambutan yang luar biasa tidak hanya datang dari masyarakat berbahasa Jawa di tanah air saja tetapi dari juga mereka yang bermukim di beberapa wilayah di mancanegara seperti Suriname, Kaledonia Baru, Malaya (Malaysia), Muangthai, Birma (Myanmar), Vietnam dan sekitarnya. Oplahnya pun semakin meningkat dari waktu ke waktu sampai mencapai 85.000 eksemplar menjelang tahun 1960.
Namun kondisi ini tidak berlangsung lama karena kondisi Indonesia yang kembali tidak menentu sampai menjelang G30S 1965 ikut mempengaruhi fase perkembangan PS yang kembali pada fase kritis. Oplah menurun akibat daya beli masyarakat yang rendah disebabkan oleh krisis ekonomi. Selain itu kualitas hasil cetak yang tidak bagus yang berakibat pada huruf-hurufnya yang sulit dibaca menyebabkan oplah PS menurun drastis menjadi hanya 18.000 eksemplar memasuki tahun 1966.
PS pun berbenah terutama pada pembenahan dan perbaikan alat-alat cetak yang bukan milik mereka sendiri. Secara perlahan-lahan oplah PS merangkak naik menjadi 22.000 eksemplar pada tahun 1968 dan semakin bertambah dari tahun ke tahun. Keberhasilan memiliki percetakan sendiri pada tahun 1975 setelah membeli alat percetakan dari Jerman ternyata juga ikut berpengaruh pada kenaikan oplah yang sampai menyentuh angka 66.000 eksemplar pada tahun 1985. Namun sekali lagi kenaikan itu tidak dapat terlalu lama dipertahankan karena setelah tahun 1985 oplahnya secara bertahap mengalami penurunan.
Tidak dapat dipungkiri jika semakin lama oplah majalah ini tidak sampai sebanyak pada masa jayanya. Ada beberapa faktor penyebab. Pertama, semakin menjamurnya media massa tentu saja menjadi saingan berat bagi PS. Kedua, kalau dahulu mayoritas masyarakat dapat memahami bahasa Jawa, kali ini sebaliknya. Masyarakat terutama generasi muda lebih memahami bahasa Indonesia. Ketiga, antusiasme yang kurang dari generasi muda terhadap majalah PS karena mengidentikkan sebagai majalahnya orang tua.
Tentu saja redaksi berusaha menyikapinya dengan memanfaatkan celah yang dapat dimasuki. Misalnya tidak menghapus rubrik Alaming Lelembut yang berisi cerita misteri karena rubrik ini cukup memiliki nilai jual yang tinggi. Selain itu redaksi juga menambah porsi halaman untuk rubrik Gelanggang Remaja karena ternyata rubrik ini diminati oleh kalangan remaja. Terbukti dengan banyaknya tulisan dari mereka yang masuk ke redaksi, misalnya cerpen, tips-tips, info-info yang berhubungan dengan gadget dan selebritis, dan sebagainya. Usaha redaksi terbukti mampu mempertahankan eksistensi PS sampai berumur tiga perempat abad ditengah persaingan ketat diantara bermacam-macam media massa yang semakin menjamur dewasa ini.
Senin, 18 Mei 2009
Sekilas Sejarah Gedung Nasional Indonesia (GNI) Surabaya
A. Awal Berdiri
Salah satu tokoh pergerakan nasional
Soetomo mulai memiliki ide untuk mendirikan GNI ketika ia memotori IS. Latar belakang ide Soetomo tersebut adalah ketika bangsa Indonesia di Surabaya ingin mengadakan rapat-rapat umum di gedung-gedung (seringkali gedung bioskop) untuk membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan nasib rakyat jajahan, rapat-rapat tersebut gagal terlaksana karena tekanan politik pemerintah kolonial Belanda, padahal sewa gedung sudah dibayar. Ide tersebut disetujui oleh teman-teman seperjuangan Soetomo dari IS antara lain R.M.H. Soejono, R.P. Soenario Gondokoesoemo, R. Soedjoto dan Achmad Djais.[5]
Selain latar belakang tersebut, ide Soetomo juga diilhami dari gedung nasional milik Polandia. Hal tersebut terlihat dalam tulisan Soetomo yang berjudul Teladan dari Polandia yang ditulis tahun 1932. Ia terinspirasi dari rakyat Polandia yang mendirikan gedung nasionalnya ketika mengungsi ke Swiss akibat negaranya diserang bangsa-bangsa besar Eropa saat itu antara lain
Langkah pertama yang dilakukan untuk mewujudkan pembangunan GNI Surabaya adalah membentuk dahulu Yayasan Gedung Nasional Indonesia (Stichting Gedung Nasional Indonesia) tanggal 21 Juni 1930 dihadapan Notaris H.W. Hazenberg kemudian disahkan oleh Raad van Justitie dan Hoggerechten di Batavia dahulu. Pengurus pertamanya antara lain:
Ketua : Dr. R. Soetomo
Penulis : R.P. Soenario Gondokoesoemo
Bendahara : R.M.H. Soejono
Komisaris : R. Soedjoto
Komisaris : Achmad Djais[7]
Perencanaan pembangunan GNI Surabaya adalah Ir. Anwari dan R. Soendjoto. Tanah yang diperuntukkan bagi pembangunan GNI dibeli dari Tuan Ruthe dan Maxen seharga f. 48.000 ditambah ongkos notaris dan bea balik nama sebesar f. 2000 dan f. 50.000, sedangkan rencana awal menelan biaya f. 200.000 untuk membangun kompleks GNI.[8] Lahan yang digunakan untuk pembangunan gedung itu terletak di jalan Bubutan, tepatnya ketiak gedung sudah jadi beralamat di Jalan Bubutan 85-87.
Pembangunan GNI mendapat sambutan cukup baik dari masyarakat. Mereka banyak menyumbang peralatan seperti batu merah, kapur, semen, pasir, dan sebagainya serta ikut membantu membangun. Bantuan tersebut tidak hanya datang dari masyarakat
Peletakan batu pertama untuk fondasi GNI diresmikan tanggal 13 Juli 1930 di Bubutan,
B. Fungsi dan Perkembangan GNI Surabaya
Sayangnya tidak diketahui persis kapan pembangunan GNI Surabaya selesai total. Yang pasti, awal tahun 1932 sebagian pembangunan gedung sudah selesai[14] dan sudah digunakan untuk tempat berlangsungnya Kongres Indonesia Raya I mulai tanggal 1-3 Januari 1932 yang dihadiri juga oleh Soekarno setelah ia keluar dari penjara Sukamiskin pada Desember 1931.[15]
Soetomo berpidato dalam kongres tersebut. Ia menghimbau perlunya persatuan dari seluruh kalangan masyarakat untuk mencapai kemerdekaan, selengkapnya sebagai berikut:
Sudahlah semestinya apabila orang-orang yang berilmu, pujangga-pujangga, pendeta-pendeta, kaum politikus, anggota-anggota Majelis Rakyat Rakyat, pers dan lain-lain golongan-golongan yang berpengaruh di dunia ini, menetapkan keyakinan dan menaburkan kepercayaan bahwa kemerdekaan itu hendaknya haruslah menjadi pedoman lahir-bathin dari sekalian bangsa adanya.Apakah [sic.] kita dapat memikul kewajiban yang mulia dan luhur, akan tetapi berat dan penuh dengan kesakitan dan duri rintangan yang runcing-runcing itu, untuk memanggul obor kemerdekaan guna memberi cahaya di sekelilingnya? Kitapun dapat juga![16]
Akhirnya Soetomo berkata bahwa perbedaan-perbedaan pendapat diantara barisan pergerakan nasional adalah ibarat warna-warninya bunga, yang memperindah tiap kumpulan karangan bunga yang dipersatukan dalam suatu wadah tertentu. Keindahan warna-warni itulah yang ia maksud dengan corak dan sifat Kongres Indonesia Raya I.[17] Keinginan Soetomo untuk menjadikan GNI sebagai tempat pertemuan untuk membicarakan tujuan kemerdekaan
GNI Surabaya juga menjadi sarana pementasan kesenian yang berbau kritik politik, yang terkenal adalah kelompok Ludruk Cak Durasim. Cak Gondo Durasim, pemimpin kelompok ludruk tersebut yang terkenal dengan peran sebagai badut, melancarkan kritik-kritik sumbang terhadap pemerintah
Pada tahun 1930 Cak Durasim mengumumkan pembentukan jenis ludruk yang sepenuhnya baru dan tidak main di kalangan kampung lagi, melainkan di panggung modern GNI.
Dialog-dialog yang dilontarkan Ludruk Cak Durasim berubah menjadi progresif dalam pementasannya karena sebagian disebabkan oleh saran Soetomo. Keterlibatan Soetomo di dalam kelompok tersebut bermula ketika tahun 1928 ia dan para aktivis studieclub-nya mulai berminat terhadap persoalan-persoalan kampung dan diperkenalkan dengan karya dan gagasan dari Cak Gondo Durasim lewat ludruknya.[19] Namun Soetomo tidak terlibat sebagai aktor pementasan-pementasan dalam pertunjukan-pertunjukan kelompok tersebut.
Ludruk Cak Durasim kemudian menjadi partner bagi PBI. Dalam hal ini, tujuan ludruk dan tujuan pergerakan menjadi terpaut. GNI Surabaya kemudian menjadi pementasan kelompok ludruk tersebut secara teratur dan menghasilkan pemasukan bagi PBI yang kemudian dari pemasukan itu dibagi dua dengan Ludruk Cak Durasim. Berkat pementasan di gedung tersebut, ludruk kemudian sempat menikmati popularitas yang besar dengan penghasilan yang memadai. Namun popularitas tersebut tidak berlangsung lama, salah satu penyebabnya adalah adanya pesaing baru yaitu kesenian ketoprak. Cerita yang lebih beragam mulai dari cerita-cerita wayang dengan kemasan modern sampai cerita rakyat setempat membuat ketoprak menjadi lebih populer bagi masyarakat Surabaya. Banyak kelompok-kelompok ketoprak bermunculan pada waktu itu. Karena begitu populernya ketoprak sampai-sampai ludruk pun popularitasnya tergeser. Imbasnya adalah pertunjukan ini yang awalnya terbatas pada pertunjukan kampung, dituntut masyarakat supaya manggung di GNI Surabaya pada malam-malam ketika ludruk tidak pentas.[20]
Penggunaan awal GNI Surabaya sebagai tempat pertemuan kaum pergerakan menandakan bahwa gedung ini merupakan simbol politik bagi masyarakat Surabaya yang memiliki hubungan dengan kaum priyayi. Mengapa disebut demikian? Pada masa-masa itu (1930-an) kaum yang terjun ke dunia politik adalah mayoritas dari kaum priyayi karena mereka lah yang memiliki kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi daripada masyarakat pribumi biasa. Dengan bekal pengetahuan yang luas, mereka yang memperjuangkan nasib rakyat biasa supaya tidak lagi ditindas oleh kolonialisme. Tentu saja cara mereka memperjuangkan berbeda-beda, ada yang progresif dan ada yang sedang-sedang saja, kooperatif dengan Belanda meskipun tidak sepenuhnya. Organisasi milik Dr. Soetomo yaitu IS (PBI) adalah salah satu yang tidak terlalu progresif karena masih menghalalkan sikap kooperatif dengan Belanda.
Digelarnya pertunjukan ludruk di gedung ini atas bantuan PBI merupakan salah satu usaha kaum priyayi (PBI) untuk lebih mendekatkan diri dengan masyarakat biasa. Pagelaran ludruk, apalagi oleh Ludruk Cak Durasim, tentu saja menjadi daya tarik bagi masyarakat biasa untuk datang ke gedung ini jika dibandingkan dengan menghadiri rapat kaum priyayi. PBI menggandeng ludruk ini agar memiliki penghubung kepada masyarakat dalam menyalurkan tujuan politik dan kritiknya kepada kolonialisme. Kritik melalui dialog-dialog dalam ludruk akan lebih mengena dan dipahami oleh masyarakat karena bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari.
GNI Surabaya tetap berfungsi sebagai tempat pementasan kesenian ketika tentara pendudukan Jepang memerintah Surabaya. Namun untuk fungsinya sebagai tempat pertemuan sudah berkurang. GNI Surabaya sudah tidak berfungsi lagi sebagai tempat pertemuan bagi perkumpulan-perkumpulan nasionalis yang sifatnya politis karena waktu itu Jepang melarang adanya perkumpulan-perkumpulan macam itu beserta aktivitas-aktivitasnya.[21]
Berkurangnya aktivitas politik di GNI Surabaya pada masa Jepang berangsur-angsur memudarkan gedung ini yang dipandang sebagai simbol politik kaum priyayi. Yang sering datang ke GNI Surabaya justru dari kalangan rakyat biasa dengan alasan menonton pertunjukan kesenian. Seperti yang telah disebutkan di atas, kesenian masih boleh pentas di gedung itu dengan syarat tema yang dipentaskan tidak sampai mengkritik pemerintah militer Jepang.
Untungnya pemerintah militer Jepang di Indonesia tidak berlangsung lama. Kekuasaan Jepang merapuh ketika Sekutu berhasil membom atom Hiroshima (6 Agustus 1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945). Kekuasaan Jepang semakin runtuh ketika harus menyerah tanpa syarat kepada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945. Praktis di Indonesia mengalami vacum of power. Maka terjadilah peristiwa Rengasdengklok pada malam harinya dimana Soekarno dan Hatta dibawa oleh golongan pemuda ke Rengasdengklok untuk didesak supaya segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pada 17 Agustus 1945 pagi, Indonesia resmi menjadi negara merdeka melalui proklamasi kemerdekaan yang dibacakan oleh Soekarno.
Berita tentang proklamasi tersebut baru sampai di Surabaya tanggal 18 Agustus 1945 melalui papan pengumuman di muka gedung kantor berita Domei di jalan Pasarbesar. Namun berita resminya baru sampai pada tanggal 20 Agustus 1945 melalui surat kabar Soeara Asia. Masyarakat Surabaya kemudian bereaksi dengan melakukan gerakan penurunan bendera-bendera Jepang. Reaksi juga datang dari tentara Sekutu yang menyebarkan pamflet berupa bendera Belanda dan gambar Ratu Wilhemnia diikuti pesan agar orang-orang Belanda di Surabaya siap menyambut pendaratan tentara Sekutu. Hal itu menjadi angin segar bagi mereka yang baru bebas dari kamp interniran Jepang untuk memulai aksinya. Menyikapi hal itu, Sungkono, drg. Moestopo dan beberapa tokoh lainnya membentuk BKR (Barisan Keamanan Rakyat)
Pada kesempatan selanjutnya, tanggal 21 September 1945
Insiden diawali ketika Sekutu menjajaki
Pertemuan KNID di GNI
Pada hari yang sama di bagian lain GNI berlangsung rapat kedua yang dipimpin oleh Roeslan Abdulgani. Rapat itu membicarakan persiapan untuk melucuti pasukan Jepang yang masih ada di
Ketika pertempuran Nopember 1945, GNI Surabaya masih menjadi Pusat Darurat BKR Surabaya sampai pasca terbunuhnya Mallaby gedung tersebut ditinggalkan tanpa ada yang mengurus lagi. Bahkan pada tanggal 29 Nopember 1945 pendopo dan paviliun selatan GNI Surabaya hancur terkena mortir. Baru pada tahun 1949 setelah ditinggalkan tanpa ada pemilik, gedung tersebut diurus oleh pengurus baru sejak Februari 1949 sampai September 1950. Pengurus baru tersebut merupakan beberapa anggota Parindra yang sudah kembali ke Surabaya karena beberapa pengurus lama GNI Surabaya masih berada di daerah pengungsian. Adapun susunannya sebagai berikut:
Ketua : Dr. Soekandar
Penulis : R.P. Amang Makmoer
Bendahara : Mr. Iskaq Tjokrohadisoerjo
Pembantu : Imam Soepardi
Pembantu : Dr. Iskandar
Pembantu : Soegeng
Pembantu : Soewondo
Fungsinya dikembalikan yaitu pendopo tetap menjadi balai pertemuan umum dengan prioritas untuk persidangan (rapat-rapat) dan pertunjukan-pertunjukan kesenian salah satunya adalah ludruk.[26]
Pengurus baru GNI Surabaya selain memfungsikan kembali gedung, juga memiliki program untuk mendirikan asrama mahasiswa. Tanah yang digunakan untuk itu adalah tanah milik kota besar Surabaya yang terletak di sekitar Kalibokor, di jalan Pucang Anom dengan cara menyewa.
Perusahaan Pasar, Tanah, dan Rumah (Perusahaan PRT) Kota Surabaya yang mengurusi penyewaan tanah tersebut memberi syarat-syarat kepada Yayasan GNI Surabaya antara lain tanah yang disewakan seluas +/- 19.200 meter persegi dengan lama pembangunan dibatasi selama 2 tahun harus selesai dan dapat ditempati, uang sewa ditetapkan sebesar Rp 0,90 per meter persegi setahun dan harus dibayar dimuka untuk satu tahun sebelum perjanjian resmi sewa-menyewa ditandatangani, sewa dilakukan dalam jangka panjang selama 10 tahun dan dapat diperpanjang lagi selama 5 tahun, pengosongan tanah hingga selesai untuk dibangun menjadi tanggungan Yayasan GNI, jika Yayasan GNI membatalkan permohonannya sesudah menandatangani konsep perjanjian sewa-menyewa maka perjanjian itu dianggap berjalan 1 tahun dan yayasan diwajibkan membayar uang sewa penuh untuk 1 tahun.[27]
Pada tahun 1965 GNI Surabaya mengalami renovasi. Hal itu berdasarkan atas surat dari Panitia Perumahan Bagi Pahlawan Kemerdekaan Nasional Jakarta tanggal 1 Maret 1965 No. 021/P3KN/III/65 sesuai kehendak presiden Soekarno untuk memberi penghargaan kepada almarhum Dr. Soetomo. Sejak tanggal 20 Maret 1965 pendopo GNI Surabaya diperbaiki, diarsiteki oleh Ir. R. Soendjasmono dengan biaya sekitar Rp 36.000.000,00. Tidak lama kemudian, pengelolaan GNI Surabaya beserta harta kekayaannya diambil alih oleh Pemerintah Kota Surabaya sebagai bagian dari tugasnya memelihara monumen-monumen nasional. Saat itu susuna pengurus GNI Surabaya antara lain:
Ketua : M. Soebjakto
Penulis : R. Wawardi
Bendahara : R.S. Djojosoedarmo
Pembantu : R.M.H Soejono
Pembantu : S. Ardjosepoetro
Penetapan itu diresmikan pada 20 Mei 1965 pukul 08.00 dengan didahului oleh ziarah ke makam Dr. Soetomo yang juga berada di GNI Surabaya.[28]
Daftar Pustaka
Buku
Abdulgani, Roeslan.1976. Alm. Dokter Soetomo Yang Saya Kenal.
Idayu.
Boedhimoerdono, 2003, Jalan Panjang menuju
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa
Frederick, William. H. 1989. Pandangan dan Gejolak, Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi
Ingleson, John. 1988. Jalan ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid II. Jakarta: Gramedia Pustaka Tama.
-------------------------. 2005. Sejak Indische sampai Indonesia. Jakarta: Kompas.
Scherer, Savitri Prasasti. 1985. Keselarasan dan Kejanggalan, Pemikiran-pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX.
Van der Veur, Paul. W. 1984. Kenang-kenangan Dokter Soetomo.
Internet
http://bangkitlah-negeriku-indonesiaku.blogspot.com/2008/07/perkembangan-organisasi-pergerakan.html. Diakses pada 7 Desember 2008 pukul 18.38
Arsip
Arsip kantor Gedung Nasional Indonesia (GNI)
Arsip Kota Surabaya No. 19.353 Box 940.
[1] Mengenai hal tersebut selengkapnya dapat dilihat di Paul W. Van der Veur, Kenang-kenangan Dokter Soetomo, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 48.
[2] Savitri Prastiti Scherer, Keelarasan dan Kejanggalan, Pemikiran-pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hlm. 200.
[3] William H. Frederick, Pandangan dan Gejolak, Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946), (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 67.
[4] Paul W. Van der Veur, op. cit.
[5] Arsip GNI
[6] Tulisan Soetomo tersebut selengkapnya dapat dilihat dalam Paul W. Van der Veur, op. cit., hlm. 73-74.
[7] Arsip GNI Surabaya, op. cit.
[8] Ibid., hlm. 15
[9] Ibid.
[10] Paul W. Van der Veur, op. cit., hlm. 74.
[11] Arsip GNI Surabaya, op. cit.
[12] http://bangkitlah-negeriku-indonesiaku.blogspot.com/2008/07/perkembangan-organisasi-pergerakan.html. Diakses pada 7 Desember 2008 pukul 18.38
[13] Soetomo, Teladan dari Polandia dalam Paul W. Van der Veur, op. cit., hlm. 74.
[14] Ibid.
[15] Arsip GNI Surabaya, op.cit.
[16] Roeslan Abdulgani, Alm. Dokter Soetomo Yang Saya Kenal, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1976), hlm. 51.
[17] Ibid., hlm. 52.
[18] William H. Frederick, op.cit., hlm.84.
[19] Ibid., hlm. 85.
[20] Ibid., hlm. 86.
[21] Data mengenai GNI Surabaya pada masa pendudukan Jepang sangat jarang, sehingga pemaparan mengenai masa itu juga kurang lengkap dan mendalam.
[22] Boedhimoerdono, Jalan Panjang menuju
[23] Ibid., hlm. 125 dan William H. Frederick, op. cit., hlm. 258.
[24] William Frederick, ibid., hlm. 262.
[25] Ibid., hlm. 263-264.
[26] Arsip GNI Surabaya, op. cit.
[27] Arsip Kota Surabaya, no. 19.353, box 940.
[28] Arsip GNI Surabaya, op. cit.