Senin, 18 Mei 2009

Sekilas Sejarah Gedung Nasional Indonesia (GNI) Surabaya

A. Awal Berdiri

Salah satu tokoh pergerakan nasional Indonesia yaitu Soetomo, memiliki peran yang penting bagi berdirinya Gedung Nasional Surabaya (GNI) Surabaya. Ia adalah orang yang mencetuskan ide pembangunan gedung tersebut. Sekembalinya ke Indonesia tahun 1923 setelah menyelesaikan studinya di Universitas Amsterdam dan Universitas Hamburg,[1] ia mendirikan perkumpulan Indonesische Studieclub (IS) pada tanggal 11 Juli 1924. Ia menjalankan perkumpulan tersebut berbekal pengalamannya ketika masih studi di Belanda menjadi anggota Perhimpoenan Indonesia. IS merupakan persatuan pertama di Hindia (Belanda) yang berusaha untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat pribumi dengan memberitahukan kepada mereka tentang situasi politik dalam dan luar negeri.[2] Selain itu, IS memusatkan perhatian kepada para penghuni kampung Surabaya dengan harapan agar anggota-anggotanya terbiasa peduli terhadap kesusahan kampung.[3] Pada bulan Januari 1931, IS diubah menjadi Persatoean Bangsa Indonesia (PBI).[4]

Soetomo mulai memiliki ide untuk mendirikan GNI ketika ia memotori IS. Latar belakang ide Soetomo tersebut adalah ketika bangsa Indonesia di Surabaya ingin mengadakan rapat-rapat umum di gedung-gedung (seringkali gedung bioskop) untuk membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan nasib rakyat jajahan, rapat-rapat tersebut gagal terlaksana karena tekanan politik pemerintah kolonial Belanda, padahal sewa gedung sudah dibayar. Ide tersebut disetujui oleh teman-teman seperjuangan Soetomo dari IS antara lain R.M.H. Soejono, R.P. Soenario Gondokoesoemo, R. Soedjoto dan Achmad Djais.[5]

Selain latar belakang tersebut, ide Soetomo juga diilhami dari gedung nasional milik Polandia. Hal tersebut terlihat dalam tulisan Soetomo yang berjudul Teladan dari Polandia yang ditulis tahun 1932. Ia terinspirasi dari rakyat Polandia yang mendirikan gedung nasionalnya ketika mengungsi ke Swiss akibat negaranya diserang bangsa-bangsa besar Eropa saat itu antara lain Jerman, Austria, Hongaria, dan Rusia. Gedung nasional Polandia digunakan oleh rakyat Polandia di pengungsian untuk berkumpul merundingkan perjuangan mereka merebut kembali Polandia.[6]

Langkah pertama yang dilakukan untuk mewujudkan pembangunan GNI Surabaya adalah membentuk dahulu Yayasan Gedung Nasional Indonesia (Stichting Gedung Nasional Indonesia) tanggal 21 Juni 1930 dihadapan Notaris H.W. Hazenberg kemudian disahkan oleh Raad van Justitie dan Hoggerechten di Batavia dahulu. Pengurus pertamanya antara lain:

Ketua : Dr. R. Soetomo

Penulis : R.P. Soenario Gondokoesoemo

Bendahara : R.M.H. Soejono

Komisaris : R. Soedjoto

Komisaris : Achmad Djais[7]

Perencanaan pembangunan GNI Surabaya adalah Ir. Anwari dan R. Soendjoto. Tanah yang diperuntukkan bagi pembangunan GNI dibeli dari Tuan Ruthe dan Maxen seharga f. 48.000 ditambah ongkos notaris dan bea balik nama sebesar f. 2000 dan f. 50.000, sedangkan rencana awal menelan biaya f. 200.000 untuk membangun kompleks GNI.[8] Lahan yang digunakan untuk pembangunan gedung itu terletak di jalan Bubutan, tepatnya ketiak gedung sudah jadi beralamat di Jalan Bubutan 85-87.

Para pendiri GNI juga bersama-sama menyumbang uangnya sejumlah f. 10.000 untuk pembangunan gedung ini. Untuk menambah dana, maka diadakanlah Pasar Derma Nasional di Kranggan yang ternyata cukup sukses. Bahkan ketika pembukaan, Soetomo menerima cek sebesar f. 30.000 untuk pembangunan GNI dari sumbangan dokter Indonesia yang tidak mau disebutkan namanya.

Pembangunan GNI mendapat sambutan cukup baik dari masyarakat. Mereka banyak menyumbang peralatan seperti batu merah, kapur, semen, pasir, dan sebagainya serta ikut membantu membangun. Bantuan tersebut tidak hanya datang dari masyarakat Surabaya saja tetapi juga dari beberapa wilayah di Indonesia. Selain itu, sumbangan juga datang dari anak-anak kecil yang mengorbankan celengannya dan diserahkan kepada Soetomo. Ludruk Cak Durasim (Ludruk Genteng Surabaya) juga ikut memeriahkan Pasar Derma Rakyat dengan mengadakan pertunjukan dalam pasar tersebut tanpa meminta bayaran.[9]

Peletakan batu pertama untuk fondasi GNI diresmikan tanggal 13 Juli 1930 di Bubutan, Surabaya [10], dilakukan oleh Kaum Isteri Indonesia dan diabadikan dengan batu peringatan dari marmeran oleh Kongres Wanita PPII (Perikatan Perhimpoenan Isteri Indonesia) pada tanggal 13 Desember 1930.[11] Dalam Kongres PPII tersebut menetapkan asas perkumpulan itu yaitu : kebangsaan, persamaan, penghargaan hal di antara laki-laki dan perempuan, kesosialan.[12] Pembangunan gedung ini berjalan agak lambat. Menurut Soetomo, hal itu disebabkan malaise atau krisis ekonomi yang melanda dunia waktu itu. Selain itu, masih menurutnya, rakyat belum memiliki semangat yang tebal seperti rakyat Polandia karena belum mantapnya persatuan dan pengabdian terhadap Ibu Pertiwi belum meliputi seluruh rakyat.[13]

B. Fungsi dan Perkembangan GNI Surabaya

Sayangnya tidak diketahui persis kapan pembangunan GNI Surabaya selesai total. Yang pasti, awal tahun 1932 sebagian pembangunan gedung sudah selesai[14] dan sudah digunakan untuk tempat berlangsungnya Kongres Indonesia Raya I mulai tanggal 1-3 Januari 1932 yang dihadiri juga oleh Soekarno setelah ia keluar dari penjara Sukamiskin pada Desember 1931.[15]

Soetomo berpidato dalam kongres tersebut. Ia menghimbau perlunya persatuan dari seluruh kalangan masyarakat untuk mencapai kemerdekaan, selengkapnya sebagai berikut:

Sudahlah semestinya apabila orang-orang yang berilmu, pujangga-pujangga, pendeta-pendeta, kaum politikus, anggota-anggota Majelis Rakyat Rakyat, pers dan lain-lain golongan-golongan yang berpengaruh di dunia ini, menetapkan keyakinan dan menaburkan kepercayaan bahwa kemerdekaan itu hendaknya haruslah menjadi pedoman lahir-bathin dari sekalian bangsa adanya.Apakah [sic.] kita dapat memikul kewajiban yang mulia dan luhur, akan tetapi berat dan penuh dengan kesakitan dan duri rintangan yang runcing-runcing itu, untuk memanggul obor kemerdekaan guna memberi cahaya di sekelilingnya? Kitapun dapat juga![16]

Akhirnya Soetomo berkata bahwa perbedaan-perbedaan pendapat diantara barisan pergerakan nasional adalah ibarat warna-warninya bunga, yang memperindah tiap kumpulan karangan bunga yang dipersatukan dalam suatu wadah tertentu. Keindahan warna-warni itulah yang ia maksud dengan corak dan sifat Kongres Indonesia Raya I.[17] Keinginan Soetomo untuk menjadikan GNI sebagai tempat pertemuan untuk membicarakan tujuan kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme seperti halnya yang dilakukan oleh rakyat Polandia nampaknya terwujud.

GNI Surabaya juga menjadi sarana pementasan kesenian yang berbau kritik politik, yang terkenal adalah kelompok Ludruk Cak Durasim. Cak Gondo Durasim, pemimpin kelompok ludruk tersebut yang terkenal dengan peran sebagai badut, melancarkan kritik-kritik sumbang terhadap pemerintah kota praja dan terhadap penjajahan Belanda pada umumnya. Kritik-kritik tersebut dibawakan dengan cara halus dan dengan kejenakaan serta gaya pidato kampung yang terpadu ke dalam format ludruk.

Pada tahun 1930 Cak Durasim mengumumkan pembentukan jenis ludruk yang sepenuhnya baru dan tidak main di kalangan kampung lagi, melainkan di panggung modern GNI. Gaya baru yang dimainkan itu tajam dan progresif dengan meningkatkan komentar-komentar tajam sebelumnya ke tingkat mendekati komentar sosial, yang dilakukan dengan humor dan isi yang serius.[18]

Dialog-dialog yang dilontarkan Ludruk Cak Durasim berubah menjadi progresif dalam pementasannya karena sebagian disebabkan oleh saran Soetomo. Keterlibatan Soetomo di dalam kelompok tersebut bermula ketika tahun 1928 ia dan para aktivis studieclub-nya mulai berminat terhadap persoalan-persoalan kampung dan diperkenalkan dengan karya dan gagasan dari Cak Gondo Durasim lewat ludruknya.[19] Namun Soetomo tidak terlibat sebagai aktor pementasan-pementasan dalam pertunjukan-pertunjukan kelompok tersebut.

Ludruk Cak Durasim kemudian menjadi partner bagi PBI. Dalam hal ini, tujuan ludruk dan tujuan pergerakan menjadi terpaut. GNI Surabaya kemudian menjadi pementasan kelompok ludruk tersebut secara teratur dan menghasilkan pemasukan bagi PBI yang kemudian dari pemasukan itu dibagi dua dengan Ludruk Cak Durasim. Berkat pementasan di gedung tersebut, ludruk kemudian sempat menikmati popularitas yang besar dengan penghasilan yang memadai. Namun popularitas tersebut tidak berlangsung lama, salah satu penyebabnya adalah adanya pesaing baru yaitu kesenian ketoprak. Cerita yang lebih beragam mulai dari cerita-cerita wayang dengan kemasan modern sampai cerita rakyat setempat membuat ketoprak menjadi lebih populer bagi masyarakat Surabaya. Banyak kelompok-kelompok ketoprak bermunculan pada waktu itu. Karena begitu populernya ketoprak sampai-sampai ludruk pun popularitasnya tergeser. Imbasnya adalah pertunjukan ini yang awalnya terbatas pada pertunjukan kampung, dituntut masyarakat supaya manggung di GNI Surabaya pada malam-malam ketika ludruk tidak pentas.[20]

Penggunaan awal GNI Surabaya sebagai tempat pertemuan kaum pergerakan menandakan bahwa gedung ini merupakan simbol politik bagi masyarakat Surabaya yang memiliki hubungan dengan kaum priyayi. Mengapa disebut demikian? Pada masa-masa itu (1930-an) kaum yang terjun ke dunia politik adalah mayoritas dari kaum priyayi karena mereka lah yang memiliki kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi daripada masyarakat pribumi biasa. Dengan bekal pengetahuan yang luas, mereka yang memperjuangkan nasib rakyat biasa supaya tidak lagi ditindas oleh kolonialisme. Tentu saja cara mereka memperjuangkan berbeda-beda, ada yang progresif dan ada yang sedang-sedang saja, kooperatif dengan Belanda meskipun tidak sepenuhnya. Organisasi milik Dr. Soetomo yaitu IS (PBI) adalah salah satu yang tidak terlalu progresif karena masih menghalalkan sikap kooperatif dengan Belanda.

Digelarnya pertunjukan ludruk di gedung ini atas bantuan PBI merupakan salah satu usaha kaum priyayi (PBI) untuk lebih mendekatkan diri dengan masyarakat biasa. Pagelaran ludruk, apalagi oleh Ludruk Cak Durasim, tentu saja menjadi daya tarik bagi masyarakat biasa untuk datang ke gedung ini jika dibandingkan dengan menghadiri rapat kaum priyayi. PBI menggandeng ludruk ini agar memiliki penghubung kepada masyarakat dalam menyalurkan tujuan politik dan kritiknya kepada kolonialisme. Kritik melalui dialog-dialog dalam ludruk akan lebih mengena dan dipahami oleh masyarakat karena bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari.

GNI Surabaya tetap berfungsi sebagai tempat pementasan kesenian ketika tentara pendudukan Jepang memerintah Surabaya. Namun untuk fungsinya sebagai tempat pertemuan sudah berkurang. GNI Surabaya sudah tidak berfungsi lagi sebagai tempat pertemuan bagi perkumpulan-perkumpulan nasionalis yang sifatnya politis karena waktu itu Jepang melarang adanya perkumpulan-perkumpulan macam itu beserta aktivitas-aktivitasnya.[21]

Berkurangnya aktivitas politik di GNI Surabaya pada masa Jepang berangsur-angsur memudarkan gedung ini yang dipandang sebagai simbol politik kaum priyayi. Yang sering datang ke GNI Surabaya justru dari kalangan rakyat biasa dengan alasan menonton pertunjukan kesenian. Seperti yang telah disebutkan di atas, kesenian masih boleh pentas di gedung itu dengan syarat tema yang dipentaskan tidak sampai mengkritik pemerintah militer Jepang.

Untungnya pemerintah militer Jepang di Indonesia tidak berlangsung lama. Kekuasaan Jepang merapuh ketika Sekutu berhasil membom atom Hiroshima (6 Agustus 1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945). Kekuasaan Jepang semakin runtuh ketika harus menyerah tanpa syarat kepada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945. Praktis di Indonesia mengalami vacum of power. Maka terjadilah peristiwa Rengasdengklok pada malam harinya dimana Soekarno dan Hatta dibawa oleh golongan pemuda ke Rengasdengklok untuk didesak supaya segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pada 17 Agustus 1945 pagi, Indonesia resmi menjadi negara merdeka melalui proklamasi kemerdekaan yang dibacakan oleh Soekarno.

Berita tentang proklamasi tersebut baru sampai di Surabaya tanggal 18 Agustus 1945 melalui papan pengumuman di muka gedung kantor berita Domei di jalan Pasarbesar. Namun berita resminya baru sampai pada tanggal 20 Agustus 1945 melalui surat kabar Soeara Asia. Masyarakat Surabaya kemudian bereaksi dengan melakukan gerakan penurunan bendera-bendera Jepang. Reaksi juga datang dari tentara Sekutu yang menyebarkan pamflet berupa bendera Belanda dan gambar Ratu Wilhemnia diikuti pesan agar orang-orang Belanda di Surabaya siap menyambut pendaratan tentara Sekutu. Hal itu menjadi angin segar bagi mereka yang baru bebas dari kamp interniran Jepang untuk memulai aksinya. Menyikapi hal itu, Sungkono, drg. Moestopo dan beberapa tokoh lainnya membentuk BKR (Barisan Keamanan Rakyat) kota di GNI Surabaya.[22] Peristiwa tersebut menandakan berfungsinya kembali GNI Surabaya sebagai tempat pertemuan yang bersifat politis setelah sebelumnya dilarang pada masa Jepang.

Pada kesempatan selanjutnya, tanggal 21 September 1945 Surabaya dijadikan sebagai tempat pertemuan KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Surabaya tepatnya di bagian pendoponya. KNID Surabaya sendiri dibentuk tanggal 22 Agustus 1945. Komisi tersebut mengadakan pertemuan disebabkan kondisi Surabaya waktu itu belum aman sepenuhnya apalagi pasca insiden bendera.

Insiden diawali ketika Sekutu menjajaki Surabaya, tepatnya tanggal 16 September 1945. Beberapa tentara yang merupakan wakil pihak Sekutu sebagai bagian dari upaya RAPWI (Pemulihan Tahanan dan Interniran Sekutu) untuk menolong para interniran dan orang-orang Indo. Mereka bermarkas di Hotel Yamato (Hotel Oranje) dan menerima kunjungan dari orang-orang Belanda dan Indo yang tersisa. Suasana semakin mencekam ketika beberapa kelompok kecil bekas interniran berkumpul di Hotel Yamato dan markas besar Palang Merah di seberang jalan untuk bertindak provokatif dengan mengibarkan bendera Belanda. Tindakan tersebut segera dibalas oleh beberapa masyarakat Surabaya yang terprovokasi dengan menyobek bagian biru dari bendera Belanda di pucuk salah satu bagian gedung Hotel Yamato. Keadaan menjadi rusuh dan memakan satu korban jiwa yang diidentifikasi sebagai Mr. W.V. Ch. Ploegman.[23]

Pertemuan KNID di GNI Surabaya tersebut dipimpin oleh Doel Arnowo yang merupakan ketua. Para anggota KNID berdebat mengenai resiko-resiko yang dihadapi jika berusaha menyerang Hotel Oranje dan mendengarkan pendapat Moestopo sebagai wakil BKR yang bersikeras mengambil alih hotel tersebut.[24]

Pada hari yang sama di bagian lain GNI berlangsung rapat kedua yang dipimpin oleh Roeslan Abdulgani. Rapat itu membicarakan persiapan untuk melucuti pasukan Jepang yang masih ada di Surabaya dan pengumpulan senjata untuk melawan sekutu. Hasil yang dicapai adalah menolak pendekatan persiapan untuk menghadapi ancaman Belanda bersama Jepang dan Sekutu dan lebih mendorong perlawanan aktif melawan Jepang, serta pembentukan Pemuda Republik Indonesia (PRI).[25]

Ketika pertempuran Nopember 1945, GNI Surabaya masih menjadi Pusat Darurat BKR Surabaya sampai pasca terbunuhnya Mallaby gedung tersebut ditinggalkan tanpa ada yang mengurus lagi. Bahkan pada tanggal 29 Nopember 1945 pendopo dan paviliun selatan GNI Surabaya hancur terkena mortir. Baru pada tahun 1949 setelah ditinggalkan tanpa ada pemilik, gedung tersebut diurus oleh pengurus baru sejak Februari 1949 sampai September 1950. Pengurus baru tersebut merupakan beberapa anggota Parindra yang sudah kembali ke Surabaya karena beberapa pengurus lama GNI Surabaya masih berada di daerah pengungsian. Adapun susunannya sebagai berikut:

Ketua : Dr. Soekandar

Penulis : R.P. Amang Makmoer

Bendahara : Mr. Iskaq Tjokrohadisoerjo

Pembantu : Imam Soepardi

Pembantu : Dr. Iskandar

Pembantu : Soegeng

Pembantu : Soewondo

Fungsinya dikembalikan yaitu pendopo tetap menjadi balai pertemuan umum dengan prioritas untuk persidangan (rapat-rapat) dan pertunjukan-pertunjukan kesenian salah satunya adalah ludruk.[26]

Pengurus baru GNI Surabaya selain memfungsikan kembali gedung, juga memiliki program untuk mendirikan asrama mahasiswa. Tanah yang digunakan untuk itu adalah tanah milik kota besar Surabaya yang terletak di sekitar Kalibokor, di jalan Pucang Anom dengan cara menyewa.

Perusahaan Pasar, Tanah, dan Rumah (Perusahaan PRT) Kota Surabaya yang mengurusi penyewaan tanah tersebut memberi syarat-syarat kepada Yayasan GNI Surabaya antara lain tanah yang disewakan seluas +/- 19.200 meter persegi dengan lama pembangunan dibatasi selama 2 tahun harus selesai dan dapat ditempati, uang sewa ditetapkan sebesar Rp 0,90 per meter persegi setahun dan harus dibayar dimuka untuk satu tahun sebelum perjanjian resmi sewa-menyewa ditandatangani, sewa dilakukan dalam jangka panjang selama 10 tahun dan dapat diperpanjang lagi selama 5 tahun, pengosongan tanah hingga selesai untuk dibangun menjadi tanggungan Yayasan GNI, jika Yayasan GNI membatalkan permohonannya sesudah menandatangani konsep perjanjian sewa-menyewa maka perjanjian itu dianggap berjalan 1 tahun dan yayasan diwajibkan membayar uang sewa penuh untuk 1 tahun.[27]

Pada tahun 1965 GNI Surabaya mengalami renovasi. Hal itu berdasarkan atas surat dari Panitia Perumahan Bagi Pahlawan Kemerdekaan Nasional Jakarta tanggal 1 Maret 1965 No. 021/P3KN/III/65 sesuai kehendak presiden Soekarno untuk memberi penghargaan kepada almarhum Dr. Soetomo. Sejak tanggal 20 Maret 1965 pendopo GNI Surabaya diperbaiki, diarsiteki oleh Ir. R. Soendjasmono dengan biaya sekitar Rp 36.000.000,00. Tidak lama kemudian, pengelolaan GNI Surabaya beserta harta kekayaannya diambil alih oleh Pemerintah Kota Surabaya sebagai bagian dari tugasnya memelihara monumen-monumen nasional. Saat itu susuna pengurus GNI Surabaya antara lain:

Ketua : M. Soebjakto

Penulis : R. Wawardi

Bendahara : R.S. Djojosoedarmo

Pembantu : R.M.H Soejono

Pembantu : S. Ardjosepoetro

Penetapan itu diresmikan pada 20 Mei 1965 pukul 08.00 dengan didahului oleh ziarah ke makam Dr. Soetomo yang juga berada di GNI Surabaya.[28]


Daftar Pustaka

Buku

Abdulgani, Roeslan.1976. Alm. Dokter Soetomo Yang Saya Kenal. Jakarta: Yayasan

Idayu.

Boedhimoerdono, 2003, Jalan Panjang menuju Kota Pahlawan, Surabaya: Pusura.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Frederick, William. H. 1989. Pandangan dan Gejolak, Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946). Jakarta: Gramedia.

Ingleson, John. 1988. Jalan ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934. Jakarta: LP3ES.

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid II. Jakarta: Gramedia Pustaka Tama.

-------------------------. 2005. Sejak Indische sampai Indonesia. Jakarta: Kompas.

Scherer, Savitri Prasasti. 1985. Keselarasan dan Kejanggalan, Pemikiran-pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX. Jakarta: Sinar Harapan.

Van der Veur, Paul. W. 1984. Kenang-kenangan Dokter Soetomo. Jakarta: Sinar Harapan.

Internet

http://bangkitlah-negeriku-indonesiaku.blogspot.com/2008/07/perkembangan-organisasi-pergerakan.html. Diakses pada 7 Desember 2008 pukul 18.38

Arsip

Arsip kantor Gedung Nasional Indonesia (GNI) Surabaya.

Arsip Kota Surabaya No. 19.353 Box 940.



[1] Mengenai hal tersebut selengkapnya dapat dilihat di Paul W. Van der Veur, Kenang-kenangan Dokter Soetomo, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 48.

[2] Savitri Prastiti Scherer, Keelarasan dan Kejanggalan, Pemikiran-pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hlm. 200.

[3] William H. Frederick, Pandangan dan Gejolak, Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946), (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 67.

[4] Paul W. Van der Veur, op. cit.

[5] Arsip GNI Surabaya.

[6] Tulisan Soetomo tersebut selengkapnya dapat dilihat dalam Paul W. Van der Veur, op. cit., hlm. 73-74.

[7] Arsip GNI Surabaya, op. cit.

[8] Ibid., hlm. 15

[9] Ibid.

[10] Paul W. Van der Veur, op. cit., hlm. 74.

[11] Arsip GNI Surabaya, op. cit.

[13] Soetomo, Teladan dari Polandia dalam Paul W. Van der Veur, op. cit., hlm. 74.

[14] Ibid.

[15] Arsip GNI Surabaya, op.cit.

[16] Roeslan Abdulgani, Alm. Dokter Soetomo Yang Saya Kenal, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1976), hlm. 51.

[17] Ibid., hlm. 52.

[18] William H. Frederick, op.cit., hlm.84.

[19] Ibid., hlm. 85.

[20] Ibid., hlm. 86.

[21] Data mengenai GNI Surabaya pada masa pendudukan Jepang sangat jarang, sehingga pemaparan mengenai masa itu juga kurang lengkap dan mendalam.

[22] Boedhimoerdono, Jalan Panjang menuju Kota Pahlawan, (Surabaya: Pusura, 2003), hlm. 134.

[23] Ibid., hlm. 125 dan William H. Frederick, op. cit., hlm. 258.

[24] William Frederick, ibid., hlm. 262.

[25] Ibid., hlm. 263-264.

[26] Arsip GNI Surabaya, op. cit.

[27] Arsip Kota Surabaya, no. 19.353, box 940.

[28] Arsip GNI Surabaya, op. cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar