Pada abad 20, perekonomian Amerika Serikat (AS) telah independen dari pengaruh Eropa. Hal itu telihat terutama pasca Perang Dunia I dimana barang-barang produksi AS-terutama barang-barang produksi pertanian-meningkat pesat di Eropa. Hal itu menyebabkan sektor produksi dan keuangan AS menjadi nomor satu di dunia. Nilai saham perusahaan di bursa saham Amerika meningkat drastis diikuti penanaman saham oleh pribadi dan institusi. Pengangguran di sana nyaris tidak ada. Untuk menjual lebih banyak saham, perusahaan pegadaian memungkinkan calon pelanggannya untuk membeli saham “ambang batas” dengan cuma membayar sebagian kecil uang dan “meminjam” sisanya dari nilai sahamnya di pasaran. Dalam seketika, nilai saham terus meningkat dan melaju pesat hingga mencapai dua atau tiga kali lipat nilai pembeliannya. Sehingga perekonomian AS sangat ditentukan oleh kredit.
Hal itu ternyata berdampak negatif bagi perekonomian. Karena di AS kredit semakin melimpah dan uang yang sesungguhnya beredar amat sedikit, keuntungan-keuntungan pribadi dan perusahaan dalam tempo 24 jam tiba-tiba lenyap. Maka pada tanggal 29 Oktober 1929, saham-saham di pasaran nilainya jatuh. Gelombang kebangkrutan yang berawal dari Wall Street itu kemudian menyebar ke seluruh penjuru negeri dan akhirnya menyebar pula ke seluruh dunia. Bank-bank bangkrut, harga bahan pertanian menurun drastis, pabrik-pabrik banyak yang tutup dan perdagangan ekspor impor melemah. Itulah awal dari Depresi Ekonomi dunia yang berdampak pada merosotnya perekonomian dunia.
Dampak dari Depresi Ekonomi juga dirasakan di Indonesia. Hal yang dirasakan misalnya dari segi produksi pertanian. Misalnya yang terjadi di daerah penghasil tanaman padi. Pada masa depresi, ketika harga merosot, tekanan pajak yaitu pajak tanah di daerah-daerah itu meningkat secara relatif. Harga padi merosot tajam, dan sumber-sumber penghasilan uang lainnya (misalnya upah kerja di perkebunan Barat) mengering, penduduk di daerah itu harus menjual produksi mereka dengan bagian yang lebih besar daripada masa-masa sebelumnya untuk memperoleh cukup uang guna membayar pajak tanah.
Sedangkan keadaan di daerah tanaman ekspor juga merasakan kesusahan. Misalnya di daerah perkebunan karet. Harga karet juga ikut anjlok. Namun meskipun begitu, ekspornya tetap mencakup jumlah yang besar. Rupanya, para pemilik perkebunan karet ingin mengimbangi penurunan harga dengan jalan mempertahankan sedapat-dapatnya volume ekspornya, sejauh biaya-biaya memungkinkan. Dengan berbuat demikian, orang berharap akan dapat memperoleh uang dalam jumlah tertentu yang bagaimanapun diperlukan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban misalnya membayar pajak.
Inilah beberapa komoditi ekspor andalan Hindia-Belanda yang mengalami penurunan permintaan dari luar negeri sehingga harganya merosot. Harga gula kualitas superior misalnya merosot dari 13.09 gulden per 100 kg pada Oktober 1929 menjadi 6.25 gulden pada Juni 1932. Kopi Robusta dari 82.37 gulden per 100 kg pada Oktober 1929 menjadi 38.86 gulden pada Juni 1932. Karet mentah standar (crepe) dari 50 sen pada Oktober 1929 menjadi tujub sen pada Juni 1932. praktis semua komoditi lain, termasuk teh dan timah, dilanda kemerosotan harga.
Upah buruh juga ikut merosot sebagai akibat dari depresi ekonomi ini. Misalnya mingguan Adil yang terbit di Surakarta edisi Januari 1935 menyajikan suatu hasil penelitian yang dilakukan di kalangan para pekerja industri batik di kota Sala. Penulisnya adalah seseorang berinisial W. Menurut penelitiannya, suatu waktu di tahun 1932, para majikan mulai menurunkan upag buruh. Pada 1933 upah harian masih antara 75 sen sampai 100 sen atau satu gulden. Setahun kemudian, keadaan industri batik tidak membaik, justru memburuk. Tidak hanya upah yang makin dikurangi, tetapi jumlah buruh pun demikian, mereka yang masih diberi kesempatan bekerja hanya memperoleh 30 sen sehari.
Buruh yang dipertahankan hanya diberi kesempatan bekerja maksimal sepuluh hari dalam sebulan; jadi sebulan hanya menerima upah 300 sen atau tiga gulden. Rata-rata keluarga buruh terdiri dari empat orang. Dengan 300 sen sebulan atau 10 sen sehari, maka setiap anggota keluarga harus bisa hidup dengan dua setengah sen sehari. Jelas mereka tidak mampu lagi makan nasi. Mereka harus puas dengan makan bubur. Kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti pakaian, minyak tanah, dan sebagainya tidak dapat mereka penuhi.
Depresi ekonomi juga berpengaruh pada bertambahnya jumlah penduduk di Hindia Belanda. Yang menyebabkannya adalah semakin banyak orang-orang Belanda yang datang ke Indonesia karena di Belanda sendiri juga merasakan jeratan Depresi Ekonomi. Kebanyakan dari mereka yang datang ke Indonesia adalah kaum pemuda karena di Belanda mereka sulit untuk memperoleh pekerjaan. Kedatangan mereka dikejutkan oleh suasana defensif dan prasangka rasial yang menyambut mereka. Namun, kembali ke kehidupan mereka sebelumnya di Eropa sudah tidak mungkin, dan kebanyakan dari mereka merasa tidak punya pilihan lain kecuali menyesuaikan diri dengan aman dalam benteng kulit-putih sehingga mereka membuat penduduk lama terlihat seperti “pecinta pribumi” yang sedang belajar.
Demikian beberapa dampak Depresi Ekonomi di wilayah Hindia-Belanda, sesuai dengan judul di atas, hanya beberapa dampak yang dimasukkan di dalam tulisan ini. Tentu saja masih banyak dampak-dampak lain yang tidak hanya pada sektor ekonomi, tetapi kuga politik, kependudukan, pendidikan dan lain sebagainya.
Daftar Pustaka
Djojohadikusumo, Sumitro. Kredit Rakyat di Masa Depresi .Jakarta: LP3ES.
Gouda, Frances. 2007. Dutch Culture Overseas, Praktek Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942. Jakarta: Serambi.
Swantoro, P. 2002. Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung menjadi Satu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Yenne, Bill. 2004. 100 Kejadian yang Mengubah Sejarah Dunia. Delaprasta Publishing (tanpa kota penerbit).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar